Wednesday, June 5, 2013

sesuai porsinya

Segala sesuatu harus sesuai porsinya.
Iya, segalanya. Baik itu perasaan yang sedih maupun senang sekalipun, perasaan itu akan terasa "benar" jika memang sesuai dengan porsinya.
Roda kehidupan akan selalu berputar, selalu. Terkadang kita ada di atas, merasakan nikmatnya hidup, atau mungkin tengah diuji ketika menghadapi "kenyataan" pahit kehidupan saat kita berada di bawah. Saat kita terlampau senang, Allah swt. akan selalu menyentil kita, mengingatkan kita agar tak lupa melihat ke bawah. Dan saat kita lagi sedih, atau kesusahan, Allah swt. pun tak pernah lupa memberikan "hadiah-hadiah" tak terduga yang tentunya can light up anyone's day.

Namun, siapa bilang mengendalikan perasaan agar sesuai dengan porsinya itu mudah? Mengendalikan perasaan agar tidak melampaui batas, memangnya bisa? Perasaan kecewa, senang, sedih, berharap, takut, memangnya bisa ya mengendalikannya?
Ingin rasanya menjawab "tidak bisa", tapi sudah pasti bisa, bukan? But no one said it was gonna be easy. Not at all. Saat kita marah, apa sih yang bisa meredamkan amarah tersebut agar tidak meledak-ledak? Ketika sedih, what would be the best way to mend a broken heart? And when we're afraid, how can we remind ourself that there really is still hope? Dan apa yang membuat kita mudah melakukan itu? Mungkin jika saya ditanyai hal tersebut saya akan menjawab, "pasrah sama Yang Maha Pengendali". Tentunya setelah berusaha, berikhtiar; setelah dirasa usaha itu sudah cukup, maka yang terakhir memang hanya berpasrah, berdoa kepada Yang Mengetahui Segalanya.
Saya ingat pernah membicarakan hal ini dengan seseorang yang tidak percaya akan adanya campur tangan Tuhan dalam kehidupan kita, menurut orang tersebut apa yang terjadi dalam hidup kita hanya bergantung pada seberapa besar usaha kita, 「頑張ればできる。」(re: jika kita berusaha kita pasti bisa). Kemudian saya mengatakan 「でも、頑張ればできないの時もあるよ。」 (re: tetapi akan ada juga saat-saat ketika kita sudah berusaha tapi tidak mendapatkan hasil yang kita inginkan). Nah, konsep itulah yang teman saya susah terima. Kenapa? Karena dia tidak bisa menerima kalau ada saat-saat dalam hidup ketika apa yang kita inginkan mungkin bukan apa yang kita butuhkan, dan Tuhan telah menyiapkan jawaban yang lebih baik. Namun tetap saja teman saya yakin apa yang menurutnya terbaik buat dirinya pastilah memang yang terbaik, karena yang paling mengetahui apa yang ia inginkan hanya dirinya sendiri. Tentu saya tidak memaksakan kehendak dan mengakhiri pembicaraan tersebut dengan obrolan lain yang lebih ringan. Ya, meskipun demikian saya memang senang pembicaraan "dalam" semacam ini, it gives me so much prespective.
But now it's time i ask myself, "Apa iya usaha selama ini cukup? Apa iya telah sesuai porsinya, Dhilla?"

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.

Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian, pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawa pergi entah kemana.

--Tere Liye, novel 'Daun yang jatuh tak pernah membenci angin'



Sudah lama sekali rasanya posting-an ini hanya bertengger di draft, dan mungkin sudah saatnya saya publish untuk mengingatkan diri saya sendiri. Maaf bagi yang ikut membaca dan merasa waktunya terbuang percuma, gomenasaaaiii~ :)
Good night!

No comments:

Post a Comment